Ketika saya masih SMA, saya punya cita-cita yang cukup tinggi. Yang jika dipikirkan lagi sekarang sangat tidak relistis. Tetapi saat itu, perasaan yang saya dapatkan adalah perasaan optimis, antusias menghadapi masa depan.

Saya bukan seseorang yang dibilang pintar di kelas, tetapi saya rasa good enough untuk bisa memilih salah satu TOP universitas di Indonesia.

Karena alasan itu, singkat cerita, saya mengikuti SNMPTN. Hasilnya? Tidak begitu bagus. Cenderung buruk.

Apa yang saya rasakan? Berawal dari pengalaman kegagalan itu saya selalu merasakan tidak pernah cukup dalam berbagai hal. Perasaan ini selalu menghantui saya. Dua tahun pertama kuliah begitu berat bagi saya. Saya selalu merasakan what-if yang tidak masuk akal.

Pertanyaan-pertanyaan what-if ini selalu muncul setiap malam ketika akan tidur.

Bagaimana jika saya gagal lagi?
Saya tidak kuliah di TOP University. Akan seperti apa saya jika sudah lulus?
Apakah saya bisa lulus? Bagaimana jika saya tidak pernah bisa lulus?
Bagaimana jika society tidak menerima saya? Akan jadi apa saya?
...

Bahkan ketika saya sudah lulus pun, dan mendapatkan perkerjaan yang saya impikan. Perasaan ini kadang-kadang muncul. "Apakah saya pantas?"

Adakah teman-teman pembaca yang merasakan hal yang sama?

Imposter Syndrome

Adalah perasaan yang kamu dapatkan ketika kamu merasa gagal, merasa bahwa kamu tidak pantas di lingkungan ini, merasa tidak pantas dengan apa yang kamu dapat, merasa bahwa orang-orang di sekitar mu begitu qualified dan kamu tidak.

Sebuah survey yang dilakukan salah satu media internasional kepada engineer-engineer di Silicon Valley menyimpulkan bahwa 58% dari mereka mengalami imposter syndrome.

Saya sendiri kuliah di IT, dan sekarang bekerja di IT juga. Bukan tidak mungkin jika kecenderungan imposter syndrome di dunia IT memang umum terjadi.

Dari kacamata saya, kenapa syndrome ini cenderung ada di IT. Dunia IT bergerak begitu cepat, terkadang apa yang kita pelajari saat ini menjadi tidak releven di kemudian hari. Seperti belajar bahasa, belajar framework, dll. Melihat situasi ini, seringkali saya juga bertanya, bisakah saya catch up dengan semua ini?

Terlebih, stereotype anak IT yang terbilang nerd, pintar, cerdas, menjadi beban tersendiri.

Bagi saya yang merasa tidak begitu pintar, tidak begitu nerd, seringkali saya memaksa disi saya untuk belajar dan bekerja 2x lebih banyak untuk bisa catch up dengan orang-orang stereotype IT ini.

Padahal apa yang sebenarnya saya butuhkan menurut syndrome ini adalah refleksi ke belakang, dan menghargai setiap langkah-langkah yang sudah saya pijak sehingga bisa sampai sejauh ini.

Coping Imposter Syndrome

Saya aware tentang imposter syndrome ini justru baru-baru ini. Ketika secara random menemukan tulisan di medium. Melihat symptom-symptom yang disebutkan, saya cenderung self diagnose bahwa saya sendiri memiliki syndrome ini.

Tetapi saya cukup beruntung karena bertemu dengan teman-teman atau mentor, yang mungkin mereka tahu tentang imposter syndrome ini. Di lingkungan tempat saya bekerja, culture kita sangat positif, saling mendukung.

Tidak jarang kita memaksa untuk saling show-of apa yang telah kita kerjakan. Memberikan narasi tentang apa yang kita kerjakan. Bagaimana apa yang kita kerjakan bisa menjadi seperti sekarang.

Seperti apa sih show-of yang kita lakukan? bukan hal yang besar. Sebatas animasi kecil di atas HTML, sebatas deployment bisa dilakukan secara otomatis, kita sudah bisa saling show-off.

"Nad! liat, gue berhasil bikin auto deployment. So lo, gak perlu capek-capek lagi deploy"

"Oi liat deh, gue bisa bikin ilustrasi ini bergerak ke kanan pas lo arahin mouse nya"

dst...

Dan perasaan setelah show-of ini sangat menyenangkan. Kita show-of bukan karena sombong, tetapi untuk menekankan bawa diri kita bisa dan pantas di apresiasi.

Dan yah. Budaya merayakan pencapaian-penacapaian ini, entah kecil atau besar memang perlu dijaga sebagai salah satu cara coping imposter syndrome.

...

Imposter Syndrome (https://www.pinterest.com/pin/444167582003924001/)
Imposter Syndrome (https://www.pinterest.com/pin/444167582003924001/)

Do I belong here?
yes you are. In fact you are here, you already belonged here.

Imposter syndrome juga sangat sering men-doubt diri bahwa kita tidak pantas ada di sini. Meragukan bahwa kita ada di sini adalah karena fraud.

Coping hal ini memang tidak mudah. Tetapi saya bisa menjamin, bahwa fakta bahwa kita ada di lingkungan ini sudah cukup membuktikan bahwa kita pantas ada di sini.

Tetapi Sampai Kapan?

Anak-anak yang kira-kira ada diusia tk sampai sekolah dasar, kehediupan mereka sangat menyenangkan. Apapun yang mereka miliki, yang mereka hadapi. Anak-anak ini cenderung selalu tersenyim jika senang, dan menangis jika memang tidak menyenangkan.

Ketika mereka bertemu orang baru, tidak lama kemudian anak-anak ini sudah akrab dengan orang baru. Ketika bermain mainan baru, beberapa waktu kemudian anak-anak ini entah itu bosan atau menguasai mainan itu. Mereka tidak mudah meyerah.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah: kita semua pernah menjadi anak kecil. Kita tentu bisa mengingat masa-masa kita belajar membaca, belajar menulis, belajar speda, pertama kali makan pedas, dll.

Apakah saat itu kita langsung bisa dengan semua itu?
Apakah saat itu kita langsung menyerah?

Tentu tidak. Tetapi yang pasti adalah, kita tidak mudah putus asa sampai kita mendapatkan itu. In fact, tahu-tahu kita sudah menguasai itu semua tanpa disadari.

...

Sekali lagi, tidak apa-apa untuk merasa gagal, merasa tidak istimewa, it's ok. Selama kita masih berusaha, masih belajar untuk coping, saya pastikan kita berada di track yang aman.

Keberhasilan, kesempurnaan, itu bukan sesuatu yang dicapai secara instan satu malam, tetapi akumulasi dari event-event yang terjadi sebelumnya.

Dan itulah yang membentuk kita juga.

Sebagai seorang software developer dan mentor. Saya selalu bilang ke junior saya, entah ketika pair programming, atau mengerjakan sebuah fitur.

Tidak apa-apa salah, nanti bisa diperbaiki. Toh manusia itu tempatnya salah, wajar kalau salah. Yang penting berani mencoba.

Dan nasihat itu adalah nasihat yang saya dapatkan dari mentor saya dahulu.

**

Saya berterimakasih kepada teman, mentor, dan senior saya yang sudah membentuk saya sampai sekarang. Imposter syndrome memang bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Apalagi tanpa bantuan.

Fenomena ini sangat umum terjadi di dunia IT, sebuah perasaan yang tidak menyenangkan.

Mari kita bangun awareness ini, dan saling mendukung teman-teman kita yang sedang berusaha.