Hari itu pagi yang cerah, jam dinding menunjukan pukul 7.00 pagi. Ayana, seorang fresh graduate yang baru saja diterima bekerja di start-up ternama Indonesia sangat antusias menyambut harinya.

Ini adalah minggu kedua Ayana bekerja.

Ayana mulai bersiap-siap untuk pergi ke kantornya yang berada di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Meskipun jam masuk kerja dimulai pukul 09.00, tetapi Ayana berangkat pukul 8.00 untuk mengantisipasi macet Jakarta yang tidak bisa diprediksi.

Di kantor, kolega-kolega Ayana mulai masuk juga. Ada yang telat, ada yang lebih pagi dari ayana. Setelah semuanya kumpul, Ayana dan kolega mulai melakukan stand-up meeting. Membahas apa-apa saja yang telah mereka kerjakan, dan apa yang akan mereka kerjakan.

Stand-up meeting ini rutin dilakukan setiap hari, di pagi hari sebelum melakukan rutinitas. Stan-up meeting ini tidak berlangsung lama, biasanya hanya 30 menit.

Apa yang Dikerjakan Ayana dan Kolega?

Ini adalah cerita Ayana dan Kolega, mereka berkerja di divisi IT pada salah satu start-up ternama di Indonesia.

Mereka sangat antusias dengan pekerjaannya. Di awal bulan, tim melakukan meeting perencanaan tentang apa-apa saja yang akan mereka lakukan dalam jangka waktu 1-2 minggu ke depan. Perencanaan dilakukan dengan sangat detail, dan karena detailnya, meeting ini berlangsung seharian.

Meeting perencanaan ini disebut sprint meeting.

Sprint meeting bagi Ayana dan kolega sangat melelahkan, tim dituntut untuk fokus dan memberikan feedback selama sprint meeting berlangsung.

Nah, di tim IT sendiri dibagi menjadi beberapa tim lagi, ada tim developer/UI/UX, tim product, dan tim QA.

Di awal sprint meeting, tim produk biasanya mendefinisikan terlebih dahulu tentang produk yang akan dibuat/dikembangkan. Tim produkjuga mencatat kira-kira requirement seperti apa yang diperlukan.

Tim developer dan UI/UX, memberikan feedback terhadap apa yang tim produk minta atau kembangkan. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya seperti estimasi waktu pengerjaan, rquirement yang diperlukan.

Baca: Kenapa Sebaiknya Tidak Menjadi Software Developer

Selanjutnya tim QA, tim ini akan membuat skenario testing, sesuai definisi dari tim produk; Dan nantinya akan berperan sebagai early adpoter terhadap produk. Mereka akan memberikan feedback loop, mencatat bugs, dan melakukan testing yang ekstrim terhadap produk.

Satu tim IT ini diawasi oleh seorang scrum master yang bertugas mencatat bagaimana task-task yang dikerjakan tim berlangsung. Apakah masih align dengan target awal atau tidak.

Setelah sprint meeting ini selesai, Ayana dan kolega bekerja sesuai task-task yang ditentukan di sprint meeting.

Setiap harinya Ayana dan kolega melakukan rutinitasnya, berdasarkan apa-apa yang telah dibahas di sprint meeting. Mereka pulang kantor biasanya pada jam 17.00 - 18.00 sore.

Dan ketika task-task berhasil dikerjakan semuanya, maka bisa dikatakan sprint selesai. Ayana dan tim merayakan keberhasilan sprint ini dengan makan-makan kecil atau mungkin bermain game party.


Sounds good, right?
Apakah pekerjaan Ayana dan Tim memang selalu seperti itu?

Di atas adalah kejadian ideal tentang pekerjaan Ayana dan kolega. Semua task-task bisa dikerjakan sampai selesai. Produk bisa di-deliver sesuai requirements awal.

Meet the Real World Scenario

Di atas, adalah skenario ideal yang terjadi pada Ayana dan tim. Ayana dan kolega berhasil mengerjakan sprint dengan waktu yang tepat. Pulang kantor pada jam yang sharunya. Dan task-task yang sesuai dari awal sampai akhir sprint.

Kenyataanya, tidak selalu seperti itu. Seringkali requirements dari atas terkesan dipaksakan dan mustahil, requirement di awal miss, waktu pengerjaan produk yang terlalu dipaksakan, pergantian requirement di tengah-tengah sprint, masalah koordinasi dengan tim, bos yang micro manage, sampai masalah-masalah non teknis seperti internet.

Tentu, Ayana dan tim menghadapi kondisi yang tidak ideal seperti di atas memberikan effort lebih.

Ayana dan kolega menghadapi situasi seperti ini seringkali pulang lebih malam untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Kondisi-kondisi tidak ideal seperti ini seringkali membuat Ayana dan tim burnout.


Apa itu burnout?

BURNOUT | meaning in the Cambridge English Dictionary
burnout definition: 1. the state of having no energy or enthusiasm because of working too hard, or someone who shows…. Learn more.
Extreme tiredness or a feeling of not being able to work any more, caused by working too hard.
Burnout terjadi biasanya karena effort yang diberikan terhadap pekerjaan tidak berbanding lurus dengan reward yang didapatkan.

Toxic Productivity

Masih bersama Ayana. Ketika beristirahat, tepatnya sesaat setelah Ayana mencoba istirahat, ada perasaan bersalah bagi ayana untuk mencoba istirahat. Mengingat bahwa pekerjaannya masih banyak, dan jauh dari selesai.

Bagi Ayana yang masih fresh graduate. Anomali-anomali ini dianggapnya normal.

Di sisi lain, Ayana sendiri masih fresh graduate, ini pekerjaan pertamanya, dan sangat ingin menunjukan bahwa dia capable.

Baca: Imposter Syndrome: Good Enough, is Never Enough

Perasaan itu didorong dengan kolega-kolega dan senior Ayana yang juga memberikan effort lebih terhadap pekarjaan mereka.

Bagi kolega dan senior Ayana, sesungguhnya mereka tau bahwa anomli-anomali ini tidak sehat. Tetapi mereka tidak mempunyai power yang cukup untuk berkata tidak. Dan berharap sprint selanjutnya lebih baik lagi.

Karena anomali ini, Ayana bahkan sampai lupa makan dan mengorbankan waktu personal dia demi menyelesaikan pekerjaanya tepat waktu.

Saat ini apa yang Ayana alami adalah kondisi toxic productivity.

Toxic prodictivity adalah kondisi dimana kita merasa overwhelming dan harus bekerja lebih banyak lagi untuk produktif dengan mengorbankan kesehatannya.
Toxic Productivity
Source: https://www.thequint.com/lifestyle/life/toxic-productivity-avoid-during-covid-19-lockdown

Toxic productivity ini terjadi karena budaya kantor yang buruk, dan berlangsung secara terus menerus.

Toxic productivity mungkin terjadi seperti apa yang dialami Ayana, tetapi tanda paling umum terjadi jika sudah ada pada spectrum toxic productivity biasanya adalah tidur larut malam dan bangun lebih pagi demi pekerjaan.

Dan jika ini terjadi terus menerus, yang terjadi adalah Burnout. Dan jika seseorang merasa burnout, akan terlintas dikepalanya untuk mempertanyakan self-worth terhadap dirinya dan tidak bisa tidur karena overthinking.

Jika hal ini terus berlanjut terus menerus dan tidak ada perbaikan. Saya rasa ini akan berlanjut pada masalah mental health.

Cognitive Overload

Di waktu yang relatif singkat, Ayana diberikan informasi dan task-task yang sangat banyak yang harus dipelajari di waktu bersamaan dengan sprint, mengakibatkan Ayana tidak dapat memproses informasi ini. Ayana mengalami stress dan cemas.

Apa yang dialami ayana itu dinamakan cognitive overload. Informasi sebelumnya yang belum selesai diproses, tetapi sudah dihadapkan pada informasi baru yang harus segera diproses.

Khususnya di IT, pergerakan teknologi sangat kompetitif dan informasi yang diberikan sangat banyak. Membaca dokumentasi yang detail adalah hal yang pasti dilakukan oleh tim IT.

Cognitive overload biasanya terjadi karena tim yang sedikit atau kordinasi dengan tim yang buruk.

Implikasi dari tim yang sedikit sangat jelas, jika informasi dan task-task yang banyak, maka tiap orang akan memikul beban yang lebih besar dari seharusnya.

Nah bagaimana dengan kordinasi tim yang buruk?

Jika tim sudah cukup besar, tetapi masih ada yang mengalami cognitive overload, maka bisa terjadi karena adanya penyampaian informasi yang kurang tepat, atau kordinasi yang tidak berjalan semestinya.

Masalah kordinasi ini terjadi biasanya ketika dua pihak atau lebih melakukan kordinasi secara remote. Dan salah satu pihak kurang fokus mencerna informasi yang diberikan.

Kenapa Sering Terjadi di IT?

Stress karena pekerjaan adalah hal yang lumrah terjadi, tetapi bagi sebagian pekerja, hal ini bukan sesekali terjadi; Tetapi terus menerus terjadi setiap hari. Seiring waktu hal ini akan mengakibatkan burnout.

Burnout umum terjadi di industri yang sifatnya bergerak cepat dan sangat kompetitif; seperti IT atau start-up.

Kenapa kita harus peduli?

Ayana adalah stereotype seorang karyawan IT di Jakarta. Selain menghadapi pekerjaanya, lingkungan di Kuningan - Jakarta Selatan yang crowdid juga sangat berperan membuat Ayana burnout.

Ayana menghabiskan waktu 4 jam di perjalanan dan 9 jam untuk bekerja. Total 13 jam sehari, itupun belum ditambah dengan work hours tambahan yang sering terjadi.

Weekend yang didambakan Ayana-pun seringkali dikurangi dengan jam kerja yang masih kurang.

Lebih dari alasan finansial, alasan moral dan kesehatan mental seharusnya lebih diprioritaskan.

Competitive & Teach Culture

Beberapa start-up yang sadar betul dengan kondisi ini, mungkin cara menekan permasalahan ini adalah dengan membuat kantor senyaman nyamanya.

Bagi orang di luar IT, melihat bahwa bekerja di IT sangat menyenangkan. Gaji yang tinggi, kerjanya hanya bermain game, hanya nulis-nulis dokumen, dll.

Yang mereka lihat adalah permukaan. Dan sebagian kecil saja. Kenapa? karena yang mereka lihat adalah kisah-kisah sukses dari startup yang berhasil membedakan diri mereka.

Padahal yang terjadi di internal, tidak seperti itu. Yang terjadi adalah apa yang seperti Ayana alami di atas. Tekanan requirements, tekanan sprint, kurang tidur, dll.

Kadang-kadang, yang terjadi adalah, divisi IT di challenge dengan problem yang bahkan mereka sendiri belum tahu bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Dan bos tentu tidak mau tahu tentang itu.

Kantor Tokopedia

Lihat video di atas, bagaimana Tokopedia membuat kantornya tidak terkesan membosankan dan terkesan fun. Bukan tanpa alasan tentunya.

Di balik suksesnya Tokopedia. Apalagi Tokopedia bergerak di bidang yang sangat kompetitif, e-commerce, Tokopedia berhasil memberikan perbedaan diantara e-commerce lain.

Bagaimana produktivitas bisa terbentuk, jika reward dan kenyamanan pekerja tidak menjadi prioritas?

Seperti di-awal dibahas. Burnout itu terjadi karena effort yang diberikan tidak sebanding dengan reward yang diterima.

Di Silicon Valley, yang paling terkenal dengan kisah suksesnya terhadap company culture yang sehat adalah Netflix. Kamu bisa membacanya di sini. Dengan company culture yang sehat Netflix berhasil membuat produk yang robust dan banyak disukai banyak orang.


Bacaan lanjutan:
- Blind Pulse: Frequency Of The Burnout
- Why We Need To Talk About Burnout In The Tech Industry
- What is Behind The Magic of Netflix Company Culture?